“Indramayu itu bisa Rp. 3 miliar per-tahun !”
Begitulah seorang pemain reklame mengungkapkan pendapatnya tentang
pendapatan dari reklame di Kabupaten Indramayu, dua tahun yang lalu. Asumsinya sungguh masuk akal, sepanjang jalur
pantura ratusan reklame berjejer. Di
jalan nasional, jalan provinsi ataupun jalan kabupaten. Sampai pelosok desa sekalipun terdapat banyak
materi promosi yang merupakan sumber Pajak Reklame.
Pemilik advertising yang lain berucap senada. Pengalamannya di lapangan yang dikalkulasikan
dengan berbagai jenis reklame, menghasilkan angka yang lebih tinggi lagi. Sebuah angka yang sangat jauh dari target dan
realisasi Pajak Reklame selama ini, tidak jauh dari Rp. 1 Miliar.
Setelah lebih dari setahun bergumul dengan pendapatan dari
reklame, maka menembus angka Rp. 1 Miliar saja perlu perjuangan keras. Ironisnya, masalah non teknis malah menjadi
kendala utama.
“Biasanya juga begitu ….”
Mungkin itulah kalimat yang sangat sering terucap, menyertai
permintaan nomor rekening pribadi dan pembayaran Pajak Reklame yang bisa
diselesaikan dengan jalan pintas. Tidak
selalu mudah mengalihkan kebiasaan lama mereka ke pembayaran langsung ke
rekening Kas Daerah.
Namun lumayan berhasil, terbukti bahwa capaian pada akhir
tahun 2012 melebihi target. Tidak
sedikit, 20 prosen !
Tetapi, apakah bisa mencapai Rp. 3 miliar ?
Kenapa tidak? Sumber
pendapatan dari reklame sesungguhnya bukan saja dari Pajak Reklame tetapi juga
bisa diperoleh dalam proses perizinan. Tetapi
bukankah menurut aturan, tidak ada retribusi izin reklame alias gratis? Sehingga satu-satunya sumber pendapatan yang
diharapkan hanyalah dari Pajak Reklame?
Tidak. Sama sekali
tidak! Proses perizinan reklame
merupakan salah satu sumber pendapatan dari reklame yang sangat potensial. Bukankan para pemain reklame sudah terbiasa
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan secarik kertas bernama
Surat Izin tentang Penyelenggaraan Reklame ?
Terlepas dari resmi atau illegal, sebuah papan nama toko
produk diesel harus merogoh kocek hampir Rp. 45 juta untuk mendapatkan sebuah
surat izin. Pengusaha advertising
lainnya mengeluarkan dana Rp. 50 juta untuk baligho ukuran 4 m X 6 m. Dan banyak lagi….., mengeluarkan dana puluhan
juta rupiah seakan sudah lumrah asalkan mendapatkan izin.
Padahal jika diperbandingkan dengan Pajak Reklame yang harus
dibayar, sangatlah jauh bedanya. Sebut
saja papan nama toko produk diesel di atas, pajaknya hanya Rp.
6.465.000,00/tahun (13 %). Demikian juga
untuk baligho ukuran 4m X 6m, pajaknya tidak jauh dari Rp. 2 juta saja setahun
(hanya 4 %-nya saja).
Bukankah hal tersebut merupakan potensi penerimaan yang
tidak sedikit? Tinggal kemasannya, kalau
retribusi tidak diperbolehkan, maka ada cara lain. Sumbangan suarela pihak keiga…. Sebuah nama yang tepat, diiringi sebuah surat
pernyataan yang menguatkan.
Sekalipun besarnya tidak seperti perbandingan di atas yang
sampai puluhan kali lipat dari Pajak Reklame, maka Sumbangan Sukarela dari
Pihak Ketiga yang mengurus perizinan reklame akan tetap merupakan potensi yang
sampai saat ini belum tergali di Indramayu.
Apalagi, saat ini hanya tinggal beberapa gelintir reklame
yang memadati sudut pandang wilayah Kabupaten Indramayu ini yang izinnya masih
berlaku. Untuk tahun ini, sampai medio
Mei 2013, Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Indramayu baru
mengeluarkan 4 (empat) Surat Izin tentang Penyelenggaraan Reklame.
Sementara itu, dari 69 Surat Izin tentang Penyelenggaraan
Reklame yang dikeluarkan pada tahun 2012, sebagian besar sudah mabis masa
berlakunya di akhir Mei 2013. Tinggal 16
reklame saja yang masa berlakunya masih berlaku begitu memasuki bulan Juni
2013.
Ironisnya, banyak pemegang Surat Izin yang mau memperpajang
masa berlaku izinnya yang saat ini mengalami kebingungan. Surat Izin yang ada di tangannya ternyata
tidak tertulis di buku register, sehingga BPMP tidak mau memproses perpanjangan
izinnya. Sebuah dilematika yang
semestinya tidak perlu terjadi. Apalagi
mereka telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Kalau untuk sebuah surat izin yang tidak teregister saja
mereka mau mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Apakah kita masih ragu jika mereka akan mau
menyumbang untuk pembangunan Kabupaten Indramayu dengan cara yang benar? Tentu saja dibuktikan dengan Surat Izin yang
teregister….
Sementara dalam hal Pajak Reklame, sedikit polesan dalam
pendataan potensi, penetapan pajak dan pendekatan penagihan yang lebih
manusiawi akan melejitkan pendapatan yang signifikan.
Masih banyak potensi Pajak Reklame yang tidak tersentuh,
menempel di toko dan warung dalam bentuk layar toko salah satunya. Bahan promosi awet ini sangat potensial jika
diberlakukan pajaknya dibayarkan tahunan.
Bukan disamakan dengan spanduk dan umbul-umbul yang pajaknya bulanan.
Selain itu, papan nama toko dengan berbagai produk sponsor
yang neretep di kota sampai perkampungan.
Masih banyak yang belum terdaftar sebagai bagian dari penyumbang
pembangunan Kabupaten Indramayu.
Wallpainting yang menghiasi dinding-dinding bangunan masih
belum ditetapkan dengan benar Pajak Reklame-nya. Jika saja pajak yang dibayarkan sesuai dengan
ukuran luasnya, maka puluhan kali lipat diperoleh dibandingkan sekarang.
Spanduk, umbul-umbul dan sejenisnya dari berbagai produk
rokok yang hampir setiap minggu mengadakan acara pun masih belum sepenuhnya
menjadi penyumbang dana bagi Kas Daerah.
Bahkan baligho yang terpampang megahpun masih belum semuanya
terdata. Bukankah masih sangat banyak
potensi yang belum tergali?
Dengan sedikit berasumsi bahwa pendekatan yang ditempuh
tersebut dapat meningkatkan Pajak Reklame 50 % saja, maka Rp. 1,5 miliar bukan
angka yang mustahil dapat dicapai.
Sementara itu, jika para Wajib Pajak mendapatkan kepuasan
dalam pelayanan proses perizinan dan legalitas Surat Izin, maka menyumbangkan
angka yang besarnya sama dengan Pajak Reklame bukanlah halangan.
Daripada seperti yang banyak mereka alami, sudah merogoh
kocek puluhan kali lipat daripada Pajak Reklame, yang didapat Surat Izin aspal
pula…..
Pendapatan lai dari reklame dapat diraih jika Pemerintah
Kabupaten Indramayu berani bertindak dengan segera menerbitkan payung hukum tentang
perizinan reklama seperti Kota Palembang ini :
http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KOTA_PALEMBANG_7_2010.PDF
Klausal sangat urgent tertera pada Pasal 14 Ayat (2) :
“ Pada lokasi milik pemerintah, pembongkaran medianya dapat
dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apabila penyelenggara reklame
atau pemilik media reklame (tetap/insidentil) tersebut tidak mempunyai izin
atau habis masa izinnya atau melanggar ketentuan yang berlaku.
Terhadap rangka media reklame beserta medianya dengan
sendirinya menjadi milik Pemerintah Kota.”
Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya sedikit saja
reklame di Kabupaten Indramayu yang memiliki Surat Izin yang dikeluarkan
BPMP? Tiga bando jalan yang melintas jalan
nasional antara Patrol sampai perbatasan Kabupaten Cirebon ternyata tidak
tertera di Buku Besar BPMP sebagai pemegang Surat Izin (nama mereka tidak ada diantara 69 pemohon Surat
Izin yang dikeluarkan tahun 2012).
Ratusan billboard yang berdiri gagah sejak 2009 pun dalam berbagai
ukuran sudah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang lagi (untuk mengecek
Surat Izin, silakan kirim email ke : dinoto.indramayu@gmail.com).
Jika saja lebih lunak, misalnya pelaksanaan aturan baru dimulai
awal tahun 2014, maka saat ini merupakan waktu yang tepat untuk sosialisasi. Tahun 2014 pun akan menjadi saat panen
Sumbangan Sukarela dari Pihak Ketiga yang mengurus perizinan dengan benar. Sementara bagi mereka yang tidak mau mengurus
atau tetap berkutat dengan Surat Izin aspal, maka materinya menjadi milik
Pemerintah Kabupaten Indramayu!
Bukankah media reklame yang ditinggalkan pemiliknya juga
merupakan sumber pendapatan yang tidak sedikit?
Jadi apa susahnya mencapai target Rp. 3.000.000.000,00/tahun
dari reklame ?
Insya Allah. Aamiin
YRA.
Sumber :